4 Cara Jitu untuk Kehilangan Jodoh yang dari Tuhan


.
Kalau kamu melakukan dengan setia dan terus menerus salah satu saja dari cara-cara di bawah ini, maka sudah dapat dipastikan kamu tidak akan pernah dapat menemukan “Jodoh yang dari Tuhan”.
* Cara ke 01 : “Teruskan segala upaya untuk mencari jodoh !”
Modal utama untuk dapat lakukan hal ini secara konsisten, adalah adanya hati yang tidak sabar dan berpanduan hanya kepada dorongan hati.
Mengapa cara ini bisa membuat kita kehilangan Jodoh kita yang sebenarnya ?
Coba lihat bagaimana Allah mempertemukan Adam dengan jodohnya, Hawa? Apakah Adam begitu berusaha mencari usaha untuk mendapatkannya sampai tidak bisa tidur? Tidak, bukan.. Bahkan dikatakan justru saat Adam tidur nyenyak maka Allah siapkan jodohnya. Tidur artinya berserah dan percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, dalam waktu yang terbaik dan dengan cara yang terbaik.
Ada pepatah mengatakan demikian “Saat kita angkat tangan maka Allah turun tangan, tapi saat kita turun tangan maka Allah angkat tangan”
Berdoa untuk jodoh yang dari Tuhan itu perlu, tapi kalau kembali melakukan usaha sendiri seolah-olah Tuhan tidak sanggup itu sama artinya dengan “tidak yakin”. Padahal firman Tuhan dalam Yakobus 5:16b berbunyi “Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”
* Cara ke 02 : “Utamakan penampilan seseorang lebih daripada apapun !”
Komunitas para pencari jodoh atau petualang-petualang cinta adalah faktor yang paling menentukan seseorang sehingga memiliki cara pandang seperti di atas. Memang pengaruh media hiburan dan film punya andil tapi tidak sebesar pengaruh dari pergaulan komunitas ini.
Mengapa cara ini bisa membuat kita kehilangan Jodoh kita yang sebenarnya ?
Yohanes 7:24 “Jangan menghakimi menurut apa yang tampak, tetapi hakimilah yang adil.”
Maksudnya bahwa yang tampil di permukaan tidak memberikan gambaran mengenai keadaan seluruhnya. Yang ditampilkan hanya permukaan laut yang tenang padahal di bawahnya terdapat arus dalam yang kuat.
Bertemu dengan jodoh dan akhirnya menikah bukanlah sekedar hal jasmani semata, tapi lebih penting lagi, karena masalah pernikahan dan jodoh adalah “hal yang rohani”.
Dalam Maleakhi 2:15 menyatakan bahwa Allahlah yang menghendaki jika seseorang bertemu dengan jodohnya yang diakhiri dalam sebuah pernikahan. Ini menunjukkan bahwa masalah rohani dari seseorang lebih penting daripada masalah jasmani untuk memastikan ia adalah jodoh dari Tuhan atau bukan.
Pertama yang perlu diingat adalah tidak mungkin Allah akan pertemukan kita dengan jodoh dari seseorang yang belum menerima Yesus sebagai Tuhan di hidupnya, karena bukankah firman Tuhan menegaskan bahwa Terang dan gelap tidak mungkin bersatu (2 Kor 6:14). Jadi sekalipun secara penampilan “masuk dalam kriteria” tapi belum Lahir Baru, maka sudah dapat dipastikan saat ini ia bukanlah Jodoh dari Tuhan.
Tapi bukankah, dengan saya berpacaran dengan dia, saya bisa membawa dirinya menerima Yesus sebagai Tuhan? Jangan tertipu oleh iblis. Tuhan akan mempertemukan kita dengan jodoh kita untuk membangun hubungan sahabat yang lebih dalam hanya dengan orang yang telah Lahir Baru.
Jika seandainya benar, Tuhan ternyata menyediakan jodoh dari orang yang belum percaya; biarkan saja ia tetap berada dalam prosesnya Tuhan untuk mengenal keselamatan dan mengalami proses Kelahiran Baru dengan caranya Allah dan bukan dengan caranya kita. Kesampingkan dahulu kerinduan untuk ber-jodoh dengan dia, tunggu sampai Tuhan yang memberitahu kapan waktunya untuk dipertemukan sebagai jodoh.

 * Cara ke 03 : “Imani bahwa Tuhan menetapkan orang yang menimbulkan simpatik adalah Jodoh yang dari Tuhan”
Kepercayaan bahwa Tuhan akan bekerja seperti apa yang kita kehendaki merupakan modal utama untuk menumbuhkan sikap hati seperti ini.
Mengapa cara ini bisa membuat kita kehilangan Jodoh kita yang sebenarnya ?
Karena “iman” yang digunakan dalam hal ini bukanlah iman yang sebenarnya. Ibrani 11:1 menyatakan bahwa “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
“Bukankah itu artinya saya boleh beriman dengan sesuatu yang saya harapkan?”
Oh…tunggu sebentar ada ayat kedua yang akan memperjelas maksud Ibrani 11 ini, yaitu Yakobus 4:3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”
Jadi iman sejati tidak timbul dari pengharapan karena nafsu keinginan (“ngebet” dapat jodoh) tapi dari firman Tuhan yang adalah KehendakNYA. Justru kalau kita berusaha “Imani “ seseorang menjadi jodoh kita, menurut Yakobus 4:3, kita tidak akan menerima apa-apa.
* Cara ke 04 : “Jangan biarkan si doi lepas dari cengkeraman”
Pepatah “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” (bahasa Jawa artinya “Cinta tumbuh karena terbiasa”) menjadi prinsip yang mendasari “semangat ‘45” ini dalam mendapatkan jodoh yang dari Tuhan.
Mengapa cara ini bisa membuat kita kehilangan Jodoh kita yang sebenarnya?
Sekalipun dikemas dengan segala istilah dan bumbu-bumbu rohani, didoakan, diimani, dipuasakan tetap saja pengertiannya adalah memaksakan Allah pada kehendak kita.
Pemuda atau pemudi yang “berjuang” dalam PeDeKaTe dengan filosofi ini memang seringkali terlihat berhasil “jadian” bahkan masuk dalam pernikahan. Tapi tidak sedikit bahkan terhitung banyak yang mengalami keraguan saat menjalani pernikahan. “Apakah betul suami/isteri saya adalah jodoh yang dari Tuhan?“
Mengapa demikian? Karena usaha yang gencar untuk mencengkeram sang pujaan hati sampai ia bertekuk lutut cenderung akan membuahkan kesepakatan untuk menikah karena faktor sungkan, tidak enak hati, kasihan dan unsur coba-coba. Padahal, siapakah yang sebenarnya lebih mengenal diri kita dan seluruh kebutuhannya? Diri kita sendiri atau Yang Menciptakan diri kita ?
Seorang penyanyi rohani ’80 an Sheila Walsh menyanyikan sebuah lagu berjudul “Lord You Know me Better Than I Know Myself “ mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Trus…kalau cara jitu supaya tidak kehilangan Jodoh yang dari Tuhan, bagaimana?
Firman Tuhan dalam Yesaya 40:31 memberikan kuncinya, sebagai berikut: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

“Menanti-nantikan TUHAN” adalah kuncinya. Bagaimana praktisnya ? Nantikan dalam posting yang berikutnya :)
(hy bersumber dari buku “Pria Idaman” Jo Lynne Pool, Metanoia 1998)
»»  READMORE...

Pembentukan Hati


.
Suatu kali, Yesus berkeliling di seluruh Galilea untuk mengajar di dalam rumah ibadah dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara mereka. Lalu, tersiarlah berita tentang Yesus di seluruh Siria, Dekapolis, Yerusalem, Yudea dan seberang Yordan, sehingga orang-orang berbondong-bondong mengikuti Dia. Melihat orang banyak itu, Yesus naik ke atas bukit dan mengajar murid-muridNya demikian, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi,”(Matius 5:5). Mengapa orang-orang yang memiliki bumi adalah mereka yang mempunyai ciri khas lemah lembut? Karena kelemahlembutan hati adalah kesediaan seseorang untuk dibentuk oleh Tuhan.

Apa maksud “dibentuk oleh Tuhan”?

1. Manusia memiliki hati yang licik
Hati manusia sangat licik, sehingga Allah perlu membentuknya menjadi lemah lembut. Kata Yeremia, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya."(Yeremia 17:9-10). Apakah hati licik ketika sedang berbisnis? Apakah kita memiliki hati yang licik terhadap isteri, anak dan keluarga? Jika kita ingin memiliki hati yang lemah lembut, maka kita perlu dibentuk oleh Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.

2. Manusia memiliki hati yang keras kepala
Sebagai orang percaya kita ingin memiliki bumi, namun tanpa menyadari bahwa hati keras kepala. Tuhan berfirman melalui Yesaya, “Oleh karena Aku tahu, bahwa engkau tegar tengkuk, keras kepala dan berkepala batu,”(Yesaya 48:4). Karena itulah Allah membentuk kita melalui proses pembentukan setiap hari. Tuhan seringkali memakai isteri, suami, anak-anak atau orang-orang yang terdekat dengan kita untuk melembutkan hati kita.

Mari, kita sebagai orang-orang yang hidup di dalam Kerajaan Allah melihat ke dalam hati kita dan membiarkan Tuhan dengan kuasaNya membentuk hati kita sesuai kehendakNya. Jangan pernah menyerah kepada pembentukan yang kita sedang alami, karena kita akan menikmati hal-hal yang indah bersama Tuhan setelah melewati proses Tuhan dengan baik.

GBU 
»»  READMORE...

The Power of Integrity


.
Seorang pengusaha yang sibuk ingin beristirahat sejenak sepulang dari kantor. Karena tidak ingin diganggu, ia berpesan pada anaknya, “kalau ada yang cari papa, bilang papa tidak ada, ya. Tak lama kemudian telepon berdering, si anak tergopoh-gopoh menjawab telepon tersebut, lalu berkata,”Halo om, papa bilang papa tidak ada…”

Kisah di atas mungkin sekedar ilustrasi yang sering terjadi diantara kita. Namun sadarkah kita, semakin banyak penyesuaian cara, sikap dan perkataan, lazim digunakan sebagai jalan pintas mencapai tujuan. Sedikit rekayasa dianggap hal yang sudah biasa, bahkan menjadi kiat mujarab untuk meraih sukses. Tapi benarkah demikian?
Ada sebuah kejadian yang sangat membekas di hati saya. Suatu ketika saya membeli koran dari seorang anak penjual Koran yang biasa berseliweran di tepi jalan dekat lampu merah. Saat itu ia tidak punya uang kembalian, sedangkan kendaraan tidak bisa berhenti. Jadi sambil berlari ia berteriak, “ besok ya, pak…!”

Keesokan harinya saya berangkat ke kantor seperti biasa dan sudah tidak ingat lagi tentang koran itu. Tapi sungguh luar biasa, ternyata bocah itu sudah menunggu di tepi jalan dekat lampu merah sambil melambai-lambaikan tangannya. Tergesa-gesa ia menghampiri mobil saya dan berkata, “Ini uang kembalian bapak yang kemarin”. Hati saya terharu sekaligus bangga, kita patut belajar dari integritas seorang anak

MEMAHAMI MAKNA INTEGRITAS
Integritas berkenaan dengan jati diri. Integritas berbicara mengenai kesejatian bukan kemunafikan, kemurnian bukan pura-pura. Yesus dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut, namun Ia tidak berkompromi dengan sikap orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka diumpamakan seperti kubur yang dilabur putih. Dari luar tampak putih bersih, namun di dalamnya penuh tulang belulang. Betapa keras pernyataan itu.
Integritas menyatakan apa adanya diri kita secara tulus. Suatu keberanian dan keteguhan untuk menyatakan diri dengan jujur tanpa manipulasi demi keuntungan atau motivasi tertentu. Orang yang berintegritas adalah orang yang memiliki keutuhan dan keselarasan dalam pikiran, perasaan, sikap perbuatan dan perkataan. Semua aspek dalam dirinya internal dan eksternal tetap sinkron dan harmonis. Tidak ada rekayasa atau kepalsuan.

INTEGRITAS DALAM PENGUASAAN DIRI
Memahami integritas seperti sebuah koin dengan dua sisi. Satu sisi adalah gambar raja, sedangkan sisi lain adalah nilai nominalnya. Gambar koin menjelaskan “who you are”, siapa anda sesungguhnya. Dan sisi nominalnya adalah “what you are”, atau apakah nilai atau kualitas anda.
Ketulusan tanpa hikmat adalah kenaifan. Kejujuran tanpa kebijakan adalah kebodohan. Karena dunia adalah padang belantara, dan kita diutus seperti domba di tengah serigala. Maka Yesus berkata, hendaklah kamu cerdik seperti ular, tapi tulus seperti merpati. Ketulusan harus disertai kecerdikan. Cerdik berarti mampu menguasai diri untuk bertindak benar pada saat, waktu dan situasi yang tepat.

MASALAH INTEGRITAS DIAWALI DARI KRISIS IDENTITAS
Persoalan integritas diawali dari kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. Krisis identitas terjadi dengan rusaknya citra Allah dalam diri Adam dan Hawa. Ketelanjangan membuat mereka merasa sangat malu dan segera menutup diri dengan daun-daun ara. Pikiran mereka mulai saling menuduh. Pembenaran diri dilakukan dengan pembelaan komunikasi dan kata-kata yang diucapkan. Krisis identitas cenderung menyembunyikan hal-hal yang dirasakan kurang sempurna. Sejak kejatuhan di dalam dosa, maka kita semua dilahirkan dalam tabiat dosa. Celakanya, kita tahu apa yang baik, tapi justru melakukan apa yang keliru. Hati nurani sadar tentang kebenaran, tapi perbuatan kita melakukan hal yang sebaliknya.
Akibat krisis identitas kita menjadi kehilangan citra diri. Kita selalu kuatir dengan diri sendiri, karena kita mulai saling menilai menurut ukuran yang serba tak sempurna. Rasa aman dibangun dari respon dan asumsi lingkungan di mana kita berada.
Ada orang yang merasa aman jika dia memiliki harta dan popularitas. Ada yang bangga dengan kepandaiannya, kesuksesan, wajah yang rupawan atau sekedar baju yang bagus, mobil yang keren dan masih banyak lagi. Kita seringkali tidak menyadari, namun semua itu bagaikan daun yang bisa layu.
Jika terbiasa memakai mobil, rasanya sulit kalau harus naik motor. Merasa kurang nyaman adalah hal yang wajar, tapi jangan sampai mengingkari kenyataan, itu gengsi yang membawa derita.

MENGAPA INTEGRITAS SEMAKIN LUNTUR?
Suatu ketika ada seorang ibu yang kena tipu. Ia membeli perhiasan emas, tapi ternyata hanya sepuhan belaka. Waktu dibeli perhiasan itu bagus sekali dan berkilau cemerlang. Tapi tidak lama dipakai, perhiasan itu menjadi pudar dan kelihatanlah bahan dasarnya hanya tembaga.
Kesejatian takkan luntur. Integritas yang luntur tidak hanya sekedar membuktikan kepalsuan. Tapi itu juga berarti bahwa ia tidak dibangun di atas fondasi yang benar. Ujian dan proses akan membuktikan kredibilitas sebuah integritas.

Ada empat fondasi yang keliru dalam membangun integritas:
* TAKUT DITOLAK
Perasaan untuk mempertahankan penampilan atau standar tertentu agar selalu diterima dan dihargai orang lain. Sikap ini membuat orang mudah tersinggung dan sulit menerima evaluasi atau kritikan. Untuk menghindari penolakan, kita akhirnya berusaha untuk selalu menyenangkan orang lain.
* TAKUT DIHAKIMI
Sikap perferksionis membuat kita sering menghakimi orang lain dan diri sendiri. Itu sebabnya kita juga menjadi takut dinilai dan dihakimi. Ketakutan ini akhirnya membuat kita jatuh ke dalam jurang kemunafikan.
* TAKUT GAGAL
Ketakutan ditolak dan dihakimi orang lain akhirnya membuahkan rasa takut gagal. Kegagalan dianggap akhir dari segalanya. Kegagalan meruntuhkan semangat dan tekad. Rasa takut gagal membuat kita terbelenggu dan stagnasi di zona nyaman.
* MERASA MALU
Rasa malu sebenarnya berkaitan dengan rambu-rambu etika. Menjadi positif jika digunakan secara tepat. Tapi perasaan malu yang berlebihan dan tidak berdasar merupakan sebuah jerat. Ini lebih tepat disebut gengsi. Sudah minder sombong pula.

PENGHALANG INTEGRITAS BAGAIKAN MUSUH DALAM SELIMUT
Dulu pernah ada sebuah lyric lagu “Buah semangka berdaun sirih”. Saya tidak tahu persis apakah itu maksudnya sinonim dengan pepatah serigala berbulu domba. Tapi itu semua sepertinya mengandung konotasi kepalsuan.
Kepalsuan adalah serupa tapi tak sama dengan yang asli. Nampaknya seperti sama, tapi sebenarnya tidak. Lalang dan gandum dibiarkan tumbuh bersama karena sulit untuk membedakannya. Tetapi ketika panen tiba, tanaman gandum akan mengeluarkan bulir-bulir yang siap dituai. Sedangkan lalang akan diikat dan dibakar habis.
Integritas yang sejati akan menghasilkan buah dan manfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Tapi kepalsuan hanya mendatangkan kerugian pada akhirnya. Waktu adalah penguji yang terbaik. Tetapi seringkali waktu tidak menyisakan kesempatan kedua bagi kita.
Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar, sama seperti Kristus adalah benar

DR. Jakoep Ezra - Character Specialist
»»  READMORE...